Waspada Label “Gluten Free” Palsu, Salah Pilih Bisa Berakibat Fatal
Kasus penjual roti yang mengaku produknya gluten free, dairy free, hingga vegan padahal hanya hasil repack dari merek terkenal tengah ramai diperbincangkan di media sosial. Di balik isu yang tampak sepele, tersimpan ancaman serius bagi kesehatan, terutama bagi penderita penyakit autoimun seperti celiac disease, yang sama sekali tidak boleh mengonsumsi gluten meskipun dalam jumlah sangat kecil.
Lebih dari sekadar penipuan dagang, tindakan ini menodai kepercayaan publik dan mencoreng pelaku usaha kecil yang selama ini berusaha menjaga integritas dalam memproduksi makanan sehat. Ketika kejujuran dijual demi keuntungan, yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi, tetapi juga keselamatan manusia.
Reaksi Warganet dan Dampak yang Lebih Luas
Kasus ini memicu gelombang kemarahan di berbagai platform. Banyak warganet menyayangkan tindakan oknum tersebut, terutama karena korban yang terdampak termasuk bayi dengan alergi gluten. “Gila, sih, main-main sama alergi orang,” tulis salah satu pengguna media sosial.
Tak sedikit pula pelaku UMKM jujur yang ikut khawatir konsumen akan kehilangan kepercayaan. Padahal, label “gluten free” bukan sekadar alat pemasaran, melainkan bentuk komitmen dan tanggung jawab terhadap keselamatan konsumen.
Apa Itu Gluten dan Siapa yang Harus Menghindarinya?
Gluten adalah protein alami yang terdapat pada gandum, barley, dan rye. Zat ini berperan membuat adonan roti menjadi elastis dan lembut. Namun bagi penderita celiac disease, gluten dapat memicu sistem imun menyerang usus halus, menyebabkan nyeri perut, diare, hingga kekurangan nutrisi jangka panjang.
Selain celiac, ada juga kondisi lain seperti intoleransi gluten, alergi gandum, dan gluten ataxia, semuanya membutuhkan perhatian ekstra terhadap bahan makanan yang dikonsumsi. Karena itu, klaim gluten free seharusnya didukung hasil uji laboratorium yang kredibel, bukan sekadar klaim sepihak dari produsen.
Standar “Gluten Free” dan Tanggung Jawab Produsen
Menurut standar internasional, produk yang benar-benar bebas gluten harus mengandung kurang dari 20 ppm (parts per million) gluten. Angka ini bukan sekadar formalitas, melainkan hasil dari proses pengawasan dan pengujian yang ketat.
Sayangnya, pada kasus yang viral ini, label “gluten free” digunakan tanpa dasar yang sah. Padahal, produsen yang ingin mengklaim hal tersebut perlu memahami risiko dan memastikan tidak terjadi kontaminasi silang selama proses produksi.
Di sisi lain, konsumen juga memiliki peran penting, yaitu dengan lebih kritis membaca label, mencari sertifikasi resmi, dan tidak mudah percaya pada klaim yang tidak disertai bukti.
Edukasi dan Kesadaran Kolektif
Ketidaktahuan bisa melahirkan korban baru. Karena itu, edukasi menjadi kunci utama. Produsen perlu menumbuhkan profesionalitas melalui transparansi proses produksi, sementara konsumen dapat berperan aktif dengan melaporkan kejanggalan yang ditemukan di pasaran.
Di Indonesia, sertifikasi produk bebas gluten memang masih terbatas, namun hal itu tidak berarti tanggung jawab bisa diabaikan. Hanya lewat kesadaran kolektif, industri kuliner sehat dapat tumbuh dengan fondasi yang jujur, aman, dan beretika.
Kasus “gluten free” palsu ini menjadi pengingat bahwa kejujuran dalam bisnis makanan bukan pilihan, melainkan kewajiban. Sebab ketika rasa percaya sudah rusak, tak ada label apa pun yang bisa menutupi rasanya.
Pada akhirnya, yang membuat industri kuliner bertahan bukan sekadar rasa, tapi tanggung jawab di balik setiap produknya.
Sumber:
FDA. 2023. ‘Gluten-Free’ Means What It Says - Link
Multidisciplinary Digital Publishing Institute. 2017. Gluten-Free Diet Indications, Safety, Quality, Labels, and Challenges - Link
FIMELA. 2025. Gluten Free Palsu? Waspadai Klaim yang Bisa Membahayakan Kesehatan - Link
DetikHealth. 2025. Viral Bakery ‘Gluten Free’ Ternyata Bohong hingga Picu Alergi, Apa Itu Gluten - Link