World Mental Health Day: Dari Stigma Menuju Empati

https://nutrimax.co.id/storage/img/article/world-mental-health-day-dari-stigma-menuju-empati.png

“It’s okay to not be okay.” Kalimat ini mungkin sering terdengar belakangan ini. Tapi seberapa sering kita benar-benar memaknai pentingnya kesehatan mental? Hari ini, 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, sebuah momen global untuk mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah hak setiap orang, dan bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.

Di tengah maraknya isu burnout, kecemasan, depresi, hingga krisis identitas, khususnya di kalangan anak muda, kesehatan mental kini menjadi sorotan penting di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Mengapa Hari Kesehatan Mental Sedunia Penting?

Peringatan World Mental Health Day pertama kali diprakarsai oleh World Federation for Mental Health (WFMH) pada tahun 1992. Tujuannya jelas: membangun kesadaran, mendorong edukasi, dan menghapus stigma terhadap isu-isu psikologis yang selama ini sering disingkirkan dari percakapan publik.

Di era modern ini, kita mungkin lebih mudah mengakses informasi seputar kesehatan mental. Namun, kenyataannya masih banyak orang yang merasa malu untuk mencari bantuan. Masih banyak yang menganggap gangguan mental adalah kelemahan, bukan kondisi medis yang perlu ditangani dengan serius.

Statistik Naik, Kesadaran Meningkat

Data dari berbagai lembaga kesehatan menunjukkan bahwa jumlah kasus gangguan mental terus meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari depresi, gangguan kecemasan, hingga kelelahan mental kronis (chronic burnout), semua menjadi masalah nyata yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat.

Tekanan hidup yang semakin kompleks, tantangan ekonomi, polusi digital, serta dinamika sosial yang makin cepat , semuanya berkontribusi terhadap krisis ini. Namun di sisi lain, meningkatnya kesadaran untuk membicarakan topik ini juga menjadi sinyal positif bahwa masyarakat mulai lebih terbuka dan peduli terhadap kesejahteraan psikologis.

Gen Z dan Mental Health: Antara Keberanian dan Stigma

Generasi Z , mereka yang lahir antara 1997-2012, berada di garis depan percakapan tentang kesehatan mental. Mereka lebih berani mengungkapkan emosi, lebih terbuka terhadap terapi, dan tidak malu mengakui bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.

Namun, sayangnya, keberanian ini kerap disalahartikan. Alih-alih mendapat dukungan, Gen Z justru sering diolok-olok. "Apa-apa anxiety," "lemah banget," atau "generasi mager" jadi label yang menempel pada mereka.

Perbedaan pola asuh antar generasi, antara Gen Z dan orang tua mereka yang mayoritas berasal dari generasi X atau milenial awal,  menambah jurang pemahaman. Sementara generasi sebelumnya dididik untuk menahan emosi dan "tahan banting", Gen Z tumbuh dalam budaya yang lebih ekspresif dan sadar akan pentingnya kesehatan mental.

FOMO, Tren, dan Salah Kaprah Soal Gangguan Mental

Di sisi lain, muncul juga fenomena baru: romantisasi gangguan mental. Di media sosial, istilah seperti anxiety, OCD, atau bipolar kerap digunakan secara sembarangan. Bahkan, ada yang merasa ‘ketinggalan’ atau ‘kurang relate’ kalau tidak memiliki label gangguan tertentu, sebuah bentuk FOMO (Fear of Missing Out) yang cukup mengkhawatirkan.

Fenomena ini disebut juga sebagai “mental health aesthetic” , ketika gangguan mental direpresentasikan secara estetik, lucu, atau bahkan “keren” di internet. Akibatnya, banyak orang yang keliru dalam memahami gangguan mental, dan lebih buruk lagi, bisa mengaburkan realitas berat yang dihadapi para penyintas sebenarnya.

Saatnya Membangun Empati, Bukan Menghakimi

Hari Kesehatan Mental Sedunia bukan hanya tentang peringatan simbolik. Ini adalah ajakan nyata untuk membangun budaya empati, bukan menghakimi. Kita semua punya peran , sebagai teman, orang tua, guru, rekan kerja, atau warga negara , untuk menciptakan ruang yang aman dan suportif.

Berikut beberapa hal yang bisa mulai kita lakukan hari ini:

  • Dengarkan tanpa menghakimi saat seseorang bercerita soal kondisinya.

  • Kurangi candaan yang meremehkan gangguan mental.

  • Edukasi diri dan lingkungan sekitar.

  • Dukung akses layanan psikologis yang lebih inklusif dan terjangkau.

  • Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional jika merasa butuh.

Kesehatan mental bukanlah milik segelintir orang. Bukan pula tanda kelemahan. Ia adalah hak semua orang, dan harus diperjuangkan sebagaimana kita memperjuangkan kesehatan fisik.

Hari ini, mari kita hentikan stigma, buka ruang dialog, dan jadikan kesehatan mental sebagai prioritas bersama, bukan hanya di tanggal 10 Oktober, tapi setiap hari.

Sumber:

WHO. 2025. Over a Billion People Living with Mental Health ConditionsLink

Antara News. 2025. Jakarta Govt Expands Mental Health Services to Posyandus - Link

Loading...
Please wait ...
whatsapp