Toxic Productivity: Saat Semangat Bekerja Berlebihan Menggerogoti Kesehatan Mental
Pernah merasa bersalah hanya karena sedang tidak melakukan apa-apa? Atau merasa cemas ketika sehari berlalu tanpa “hasil” yang terlihat? Kalau iya, bisa jadi kamu sedang mengalami yang disebut toxic productivity.
Di era hustle culture, banyak orang terjebak dalam keyakinan bahwa setiap waktu harus dimanfaatkan untuk sesuatu yang produktif. Sayangnya, semangat itu sering kali berubah menjadi tekanan batin yang perlahan menggerogoti kesehatan mental.
Terus Sibuk Nggak Selalu Sehat, Lho!
Toxic productivity adalah kondisi di mana seseorang terdorong untuk selalu bekerja, bahkan ketika tubuh dan pikirannya butuh istirahat. Aktivitas non-produktif dianggap sebagai kegagalan. Akibatnya, waktu istirahat justru menimbulkan rasa bersalah.
Menurut dr. Julie Smith, psikolog klinis dari Inggris, toxic productivity adalah dorongan tidak sehat untuk terus mengejar sesuatu, meskipun tubuh sudah memberikan sinyal lelah. “Ini bukan lagi kerja keras yang sehat, tapi tekanan dari dalam diri sendiri,” jelasnya lewat kanal YouTube pribadinya (2022).
Kenapa Kita Terlalu Keras pada Diri Sendiri?
Budaya kerja yang kompetitif dan paparan media sosial merupakan dua penyebab utamanya. Kita terbiasa melihat orang-orang yang bangun subuh, kerja 12 jam sehari, ikut webinar malam, dan tetap terlihat energik. Padahal, yang kita lihat di media sosial hanyalah “highlights”, bukan kehidupan asli mereka. Kita pun jadi terdorong membandingkan diri. Akhirnya, merasa santai sebentar saja seolah jadi hal yang salah.
Dampaknya Bukan Cuman Capek, Tapi Bisa Bikin Hancur
Toxic productivity bukan hanya membuatmu lelah, tapi juga bisa memicu masalah mental yang serius. Beberapa di antaranya:
Burnout total, baik secara fisik maupun emosional.
Kecemasan saat tidak produktif, bahkan di hari libur.
Gangguan tidur dan stres berkepanjangan.
Penurunan relasi dengan orang terdekat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan secara resmi mengklasifikasikan burnout sebagai fenomena pekerjaan yang serius, dengan gejala utama seperti kelelahan ekstrim dan penurunan performa saat bekerja.
Produktivitas Sejati Itu Harus Ada Maknanya
Dalam wawancaranya dengan The New York Times, Adam Grant, profesor psikologi dari Wharton School, menegaskan bahwa “Produktivitas yang terus-menerus tanpa arah bisa membuat seseorang kehilangan makna.” Menurutnya, produktivitas bukan tentang banyaknya aktivitas, tapi tentang dampak dan tujuan dari pekerjaan itu sendiri.
Produktivitas Nggak Harus Bikin Tersiksa
Semangat bekerja itu bagus, tapi jangan sampai membuatmu kehilangan kendali atas hidup sendiri. Kalau tubuh dan pikiran sudah memberi tanda lelah, dengarkan. Istirahat itu bukan bentuk kegagalan, tapi bagian penting dari perjalanan produktif yang sehat.
Karena pada akhirnya, produktivitas yang sesungguhnya bukan tentang seberapa keras kamu berlari, tapi seberapa bijak kamu tahu kapan harus berhenti.
Sumber :
Dr. Julie Smith (2022). Signs of Toxic Productivity. YouTube.
Kompas.com (2025). Toxic Productivity, Meningkatkan Kinerja atau Merusak Kesehatan Mental? - Link
The New York Times (2021). Adam Grant on Meaningful Work.
WHO (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”.
